Debat pro-kontra masalah poligami bukan saat ini saja mengemuka. Jauh sebelum kemerdekaan isu mengenai poligami sudah ramai dibicarakan tokoh-tokoh bangsa. Dalam surat-suratnya, yang kemudian diterbitkan [dalam Habis Gelap Terbitlah Terang atau dalam kompilasi Surat-Surat Kartini], Kartini banyak memberikan opininya mengenai poligami. Terlahir dari seorang istri selir Bupati, dalam budaya bangsawan yang poligami merupakan sebuah kewajaran Kartini menyuarakan penolakannya terhadap poligami. Ia menyebut poligami merupakan wujud egoisme lelaki. Tentu saja apa yang dia ungkapan, untuk berbaik sangka padanya, kita juga harus memberikan perhatian terhadap kenyataan aktual negatif dari penerapan poligami di masanya sebagaimana yang dia lihat atau rasakan. Sukarno pernah terlibat perdebatan mengenai poligami dengan H. Agus Salim sekitar 1929. M. Natsir bersama dengan A. Hasan pernah bertemu dengan Sukarno dan menyampaikan kritik terhadap partainya [baca PNI] yang suka menjelek-jelekkan agama Islam, isu poligami salah satunya [sebuah roman biografi Inggit, Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH, menuliskan dialog yang terjadi antara mereka berempat]. Paradoksnya, Kartini akhirnya menjadi istri ke-empat dari Bupati Jepara. Setelah pernikahannya, surat-surat Kartini tidak lagi bernada menghujat poligami. Paradoksnya, menjelang kemerdekaan Sukarno akhirnya menikah dengan Fatmawati, [Inggit konsisten dengan sikapnya yang tidak mau dimadu sehingga dia meminta cerai]. Sampai tahun enam puluhan tercatat kurang lebih 8 orang yang tercatat pernah menjadi istri Sukarno, sampai akhir hayatnya beberapa orang masih tercatat resmi sebagai istrinya [poligami]. H. Agus Salim kawan debat Sukarno ketika itu justru bertahan dalam monogami. Saat melakukan kritik terhadap isu-isu di atas, Kartini dan Sukarno berdiri dalam posisi memenangkan logika atau nalar terhadap permasalahan yang ada. Ketika pilihan-pilihan hidup harus ditentukan, nalar saja tidak mencukupi atau bahkan nalar semata bisa saja dikorbankan; orang bisa menyebutnya sebagai pilihan-pilihan eksistensial. |